World Cup & Perceraian?

Juara World Cup 2006 - Italia

Adakah hubungan antara keduanya? Hm… Sebenarnya tidak, namun sebuah perceraian pernah terjadi pada sebuah pasangan gara-gara ketika suatu malam sang istri sedang ingin “bermesraan” tapi si suami sedang asyik-asyiknya melotot di depan layar televisi dan tidak menangkap “sinyal-sinyal” yang dilontarkan sang istri.

Akibat peristiwa ini, sang istri menjadi kecewa dan marah sehingga dengan impulsif ia segera mematikan televisi dan berdiri di depan suaminya. Tentu saja si suami secara spontan terpicu kemarahannya dan adegan berikutnya Anda sudah bisa menebaknya: sebuah pertengkaran hebat! Sang istri merasa suaminya lebih mencintai 22 laki-laki berseragam yang berebutan 1 bola, sedangkan si suami merasa istrinya tidak memberinya ruang pribadi dan tidak bisa mengerti bahwa ini adalah event 4 tahun sekali! Si suami merasa kalau hanya sekedar bermesraan kan bisa dilakukan kapan saja, tapi world cup hanya terjadi jarang-jarang!

Dalam buku saya, “2 Species 1 Love”, saya sempat menjelaskan kenapa sepak bola bisa begitu menarik bagi pria sedangkan para wanita lebih tertarik melihat wajah ganteng dan otot macho pemainnya ketimbang melihat sepak bola’nya itu sendiri. Salah satu alasannya karena pria memang menyukai hal-hal yang berhubungan dengan kemampuan spasial dan berhubungan dengan kompetisi, dan kebetulan olah raga sepak bola menyediakan tontonan terhadap 2 hal tersebut.

World Cup With EQ?

Event World Cup memang fenomenal. Demam piala dunia bisa membuat orang-orang rela bergadang dan  meninggalkan semua aktifitas demi nongkrong 2 jam di depan televisi. Sebagai trainer EQ, saya melihat fenomena ini sebenarnya adalah ujian yang baik untuk kematangan emosional kita. Kadangkala kita kehilangan kemampuan berpikir panjang karena terlanjur terdesak oleh keinginan untuk memuaskan perasaan nonton kita. Banyak orang rela bergadang nonton padahal ia tahu besok harus melakukan presentasi penting. Akibatnya ia kurang tidur, tidak bisa konsentrasi, dan presentasinya tidak sukses. Perasaan ingin nonton World Cup telah mengendalikan dirinya.

Banyak orang rela melepas waktu berkualitas dengan keluarganya demi nongkrong di depan televisi, terhipnotis oleh 22 pria berseragam itu, dan tidak peduli dengan apa yang terjadi di sekelilingnya, padahal anaknya ingin bermain dengannya dan penolakan yang ia lakukan membuat sang anak kecewa dan terluka. Padahal jika dipikir-pikir, kalau toh tim jagoan kita menang, apakah yang kita dapatkan? (Kecuali bagi Anda para penjudi pastinya dapat uang!). Buat apa kita bersenang-senang tim kita menang tapi berantem dengan istri/suami kita? Buat apa kita puas nonton tapi besoknya pekerjaan kita kacau dan kepercayaan bos pada kita menurun? Buat apa kita happy nonton bola tapi anak kita dikecewakan?

Tentu saja artikel ini bukan menyuruh Anda untuk berhenti nonton World Cup. Memang ini adalah event langka yang sayang dilewatkan. Namun, marilah kita menikmati World Cup dengan EQ yang cerdas. Tetaplah memikirkan konsekuensi-konsekuensi hobi Anda. Pertimbangkan setiap pengorbanan yang Anda lakukan demi nonton World Cup dan pikirkan apa konsekuensinya. Yang terpenting adalah Anda tahu konsekuensinya dan tahu bagaimana menghadapi konsekuensi tersebut.

So, selamat menonton World Cup dengan kecerdasan emosi!

Hidup Inggris! (btw, siapa jagoan Anda?)


EQ & Genghis Khan #1

Tahukah Anda bahwa Genghis Khan adalah seorang pemimpin yang dianggap ber-EQ tinggi? Mengapa demikian? Ada banyak alasan yang menjadi indikasi kematangan emosional Genghis Khan sebagai salah satu pemimpin besar dunia. Dari sekian banyak indikasi tersebut salah satunya adalah daya juang LUAR BIASA yang dimiliki Genghis Khan sejak ia remaja.

Dalam sebuah buku tulisan John Man yang menceritakan secara detail kehidupan Genghis Khan dan perjalanan hidupnya, dituliskan sebuah kejadian fenomenal yang merupakan cikal bakal lahirnya seorang pemimpin besar yang tercatat dalam sejarah manusia.

Ketika Genghis Khan berusia sekitar 13-14 tahun, yaitu usia remaja dimana secara psikologis biasanya orang-orang di usia seperti ini memiliki emosi yang labil dan sulit menguasai diri.Dalam usia akil balig yang peuh gejolak emosi tersebut, Genghis Khan ditangkap oleh suku musuh yang terkenal sangat kuat dan kejam. Sudah tersebar berita bahwa suku ini termasuk suku yang paling ditakuti dan semua orang yang tertawan biasanya tidak memiliki kemungkinan lagi untuk bisa selamat atau lolos.

Ketika itu, sang Genghis Khan muda ditangkap dan ditawan hidup-hidup. Namun, yang menarik adalah selama berhari-hari dalam tawanan, Genghis Khan selalu berusaha sekuat tenaga untuk melarikan diri. Setiap kali ada celah, Genghis Khan selalu berusaha lari meski berkali-kali ia gagal.Tetapi usaha Genghis Khan ternyata diamati oleh seorang petinggi suku tersebut dan petinggi itu memendam kebencian terhadap pemimpin suku.

Ketika ia melihat Genghis Khan, ia menangkap ada yang berbeda dari remaja ini. Di saat semua tawanan sudah kehilangan harapan dan sorot matanya suram, petinggi tersebut melihat sorot mata Genghis Khan yang penuh dengan api semangat hidup yang tidak pernah mati. Petinggi tersebut berpikir, “sepertinya anak muda ini suatu saat akan menjadi pemimpin yang luar biasa!” Terpengaruh oleh semangat juang Genghis Khan muda, petinggi itu akhirnya secara diam-diam membantu Genghis Khan melepaskan diri dan beberapa tahun kemudian petinggi tersebut menjadi salah satu jenderal kepercayaan Genghis Khan.


Emotional Endurance

Cerita ini selalu menginspirasi saya, betapa luar biasa daya tahan emosional Genghis Khan dalam menghadapi keadaan sulit. Bahkan dalam usia yang masih sangat muda dan dalam keadaan yang sudah tiada harapan, Genghis Khan masih tetap punya daya juang, tidak menyerah, dan bahkan senantiasa memiliki sorot mata kehidupan! Daya juangnya yang luar biasa inilah yang kemudian membuka pintu penyelamatan bagi dirinya. Sementara tawanan lain yang sudah menyerah dan hanya menunggu “waktu”, tidak melakukan apapun dan berakhir dalam kematian.

Pelajaran EQ pertama dari Genghis Khan adalah orang yang memiliki kematangan emosi adalah orang yang tidak pernah kehilangan daya juang dalam keadaan apapun. Semua orang bisa menghadapi tembok yang sama, namun yang membedakan orang berhasil dan orang gagal hanyalah seberapa lama dan seberapa tahan Anda terus melakukan pukulan sampai tembok itu runtuh.

Setiap kali Anda berpikir akan menyerah, cobalah berpikir seperti ini, “Coba sekali lagi deh, siapa tahu kali ini berhasil”. Jika Anda terus melakukan seperti itu, saya percaya Anda akan berbeda dari orang lain dan akan memiliki daya juang yang akan mengantarkan Anda kepada kesuksesan hidup yang tidak dimiliki orang lain.

Salam EXCITING!
josua iwan wahyudi
www.shifthinknow.com/emofs